Saturday, July 5, 2008

Tabloid "Nakita" - 178, 2002


MELALUI ROSITA KAMI MEMAHAMI KEBESARAN TUHAN

Betapa tidak! Anakku dihinggapi berbagai kelainan. Ia buta, hidrosefalus, tulangnya rapuh hingga mudah patah. Bahkan, ia pun sempat mengalami henti napas. Berkat kebesaran-Nya sampai saat ini masih bersama kami, dengan segala keterbatasannya.

Anak kami, Rosita Hildanauli Panggabean, lahir 16 Oktober 1997 dengan berat 2950 gram, panjang 49 cm dan APGAR score 10/10. Saat itu semua tampak baik-baik saja, demikian pula selama kehamilan, semua tampak normal. Tapi memang, selama kehamilan tersebut kami tidak melakukan pemeriksaan darah. Ini karena dokter kandungan yang menanganinya mengatakan bahwa pada Rosi tidak terdapat indikasi untuk dilakukan pemeriksaan. Kondisi ibundanya pada saat itu dianggap baik-baik saja.

Namun begitu, kondisi normal Rosi mulai berubah saat usianya 2,5 bulan. Ubun-ubunnya mulai tampak agak menonjol dan terlihat "naik". Ini pun kami ketahui secara kebetulan saat ia mengalami diare dan dibawa ke RSAB Harapan Kita, Jakarta. Dokter anak yang menanganinya, sambil menangani diare yang dialami Rosi, justru lebih khawatir dengan ubun-ubunnya yang tidak seperti anak normal.

Pulang dari rawat inap, 24 Desember 1997, kami segera berusaha mencari dokter ahli untuk memeriksakan lebih lanjut keadaan kepala Rosi. Untunglah, ada kenalan yang bisa mengantar kami ke seorang profesor dari bagian kesehatan anak di RSCM, Jakarta. Keesokannya, 25 Desember 1997, walau saat itu hari libur, beliau berkenan memeriksa keadaan Rosi di rumahnya. Beliau mengatakan, Rosi memerlukan pemeriksaan lanjutan di RSCM. Esoknya lagi, 26 Desember 1997, ia diperiksa dengan CT Scan dan EEG, lalu dikonsulkan ke profesor ahli saraf anak, dan belakangan lebih sering dengan dr. Jimmy Passat, Sp.A(K). Oleh mereka diputuskan, Rosi harus dirawat di RSCM selama 3 minggu.

Selama di sana Rosi mengalami macam-macam pemeriksaan dan keadaannya selalu dimonitor. Kami ingat, saat itu dr. Jimmy berkata, perjalanan yang harus dilalui tampaknya akan panjang. Kami seperti tersadarkan bahwa keadaan semakin lama semakin tidak mudah.

Dalam masa itu juga, kami mencurigai adanya kelainan pada mata Rosi. Setelah diperiksa oleh dokter ahli mata, tampaklah saraf mata anak kami ternyata ikut rusak sehingga ia tak bisa melihat untuk selamanya. Diagnosa yang diberikan adalah Rubella Syndrome. Ini didukung hasil pemeriksaan darah yang ternyata menunjukkan Rosi pernah terkena infeksi rubela dan sitomegalovirus (CMV) saat di kandungan. Sejak itu pemeriksaan difokuskan pada Rubella Syndrome dan CMV. Syukurlah, ternyata jantung Rosi tidak ikut mengalami kelainan.
Namun masih ada lagi, karena saat buang air besar kotoran yang keluar berwana hitam, Rosi juga diperiksa saluran cernanya. Ternyata di situ telah terjadi perdarahan. Dokter ahli pencernaan, dr. Badriul Hegar, yang menangani berusaha mencari sumber perdarahan dengan cara endoskopi, kolonoskopi, meckel scan dan bleeding scan. Namun ia tidak menemukan lokasi perdarahan. Tinggal tersisa satu cara untuk mengetahuinya, yaitu dengan pembedahan eksplorasi untuk mencari lokasi perdarahan. Walau demikian, berdasar keadaan klinis yang membaik dan pendapat dari beberapa dokter lain, akhirnya kami memutuskan untuk tidak melakukan pembedahan.

KELAINAN TULANG
Cobaan belum selesai karena sebelum sampai usia 1 tahun, Rosi mengalami patah tulang pada paha kanannya hanya karena jatuh yang ringan. Melalui berbagai pemeriksaan, akhirnya diketahui Rosi juga menderita kelainan pertumbuhan tulang yang disebut osteopetrosis. Inilah yang menyebabkan tulangnya mengalami penebalan, perubahan bentuk, dan mudah patah.

Satu-satunya pengobatan yang ada saat ini untuk osteopetrosis adalah dengan transplantasi sumsum. Namun karena menurut tim dokter osteopetrosisnya masih dalam kategori moderate, dan risiko komplikasi transplantasi juga besar, dikatakan bahwa transplantasi belum perlu dilakukan.

Akibat osteopetrosisnya inilah, hingga kini Rosi sudah mengalami patah tulang sampai 3 kali, hanya karena sedikit terbentur atau jatuh ringan saja. Belum termasuk beberapa retak tulang di selangka dan rusuk yang kami ketahui belakangan. Bahkan kini ia didiagnosa mengalami kelumpuhan salah satu saraf di wajahnya, karena ada saraf yang terjepit oleh tulangnya sendiri.
Menjelang usia 1 tahun itu pula, Rosi didiagnosa hidrosefalus dan harus dioperasi untuk memasang VP shunt di kepala. Alat ini diperlukan untuk mengatasi hidrosefalus yang dideritanya. Belakangan, saat berusia sekitar 1,5 tahun, alat ini mengalami kerusakan dan tidak berfungsi dengan baik, sehingga Rosi harus menjalani operasi lagi di kepalanya untuk memperbaiki posisi VP shunt.

GANGGUAN NAPAS SAAT TIDUR
Belakangan, saat Rosi berusia sekitar 2 tahun, kami melihat ada masalah dengan pernapasannya. Rosi jadi mengorok saat tidur dan makin lama tampak makin parah. Bolak-balik kami ke dokter ahli paru, namun tak ada perbaikan. Akhirnya setelah kami mencari-cari melalui internet,kami curiga Rosi menderita kelainan bernapas saat tidur yang disebut Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS). Akibat OSAS ini, bila Rosi tidur, ia mengalami kesulitan bernapas, bahkan hingga menjadi biru.

Untunglah, dokter yang saat ini menangani Rosi, yaitu dr. Hardiono D. Pusponegoro Sp.A(K) memahami tentang OSAS yang dialami Rosi. Kelainan ini memang termasuk langka di Indonesia. Rosi kemudian diperiksa di sleep laboratorium untuk mengetahui secara pasti keadaan OSAS-nya. Bersamaan dengan itu, ternyata kondisi Rosi memburuk, hingga akhirnya Rosi harus dirawat di ICU anak di RSCM selama 25 hari, sejak 1 April 2002.

Selama berhari-hari menunggui Rosi di rumah sakit, kami kembali berpikir, apa, sih, yang menjadi rencana Tuhan untuk Rosi dan untuk kami? Ketika ia terbaring koma dan dokter membatalkan semua tindakan medik yang sudah direncanakan, kala itu kami benar-benar "jatuh" dan merelakan Rosi untuk "pergi".
Entah mengapa, Tuhan membuat Rosi dapat melampaui masa-masa kritis sesudah laringoskopi yang kata dokter kemungkinan keberhasilannya hanya 25%. Luar biasa, Rosi lolos walau harus melalui pemulihan yang luar biasa meletihkannya. Memakai ventilator, sebentar-sebentar harus diinhalasi dan di-suction (disedot lendirnya dari saluran napas) sehingga kadangkala yang keluar dari selang isap itu bukan lendir saja tapi juga darah, panas tinggi 41 derajat Celcius, menggigil dengan detak jantung yang sudah tidak keruan. Kalau kesakitan, sering kali ia menangis tanpa suara karena mulutnya juga diganjal alat tertentu untuk membantunya bernapas.

PEMULIHAAN LUAR BIASA
Kini Rosi sudah berada di rumah sejak 25 April 2002 lalu. Kami semakin percaya bahwa Rosi memang anak kesayangan-Nya. Dari kondisi di mana ia sempat tak sadarkan diri, tak bisa bernapas tanpa bantuan ventilator dan 3 minggu harus makan lewat selang di hidung, kini Rosi dapat bernapas sendiri dengan tingkat kesadaran penuh. Free at last! At home! Di rumah ia cukup berbekal gudel (alat kecil yang harus dipasang di mulut selagi tidur untuk membantunya bernapas).

Uniknya, setelah dirawat di ICU itu Rosi mulai mau "bernyanyi" lagi. Lagu-lagu yang dulu sering ia nyanyikan kini sudah bisa ia dendangkan lagi sepotong-sepotong. Bahkan lagu yang tidak pernah ia nyanyikan, sekarang ia nyanyikan. Entah apa penyebabnya sehingga ia bisa pulih luar biasa seperti itu. Barangkali karena selama dirawat di RS, walaupun kondisinya antara sadar dan tidak, kami terus memutarkan lagu-lagu kesayangannya, sehingga mungkin itu semua terekam dalam otaknya. Memang ia masih belum bisa berkomunikasi secara verbal, jalannya masih tertatih-tatih, masih suka jengkel dengan memukul kepalanya sendiri. Namun, ia sudah bisa makan melalui tenggorokannya makanan yang mesti diblender seperti biasanya.

Kami saat ini merasa tidak layak tahu apa kehendak Tuhan. Kami mau memikul apa yang diharuskan-Nya untuk kami pikul. Kami percaya Rosi juga demikian, meski apa yang ia rasakan jauh melebihi yang kami rasakan. Melalui kehadiran Rosita, kami belajar hal penting bahwa rancangan kami bukanlah rancangan-Nya.

Sewaktu belum menikah dulu, kami sering berangan-angan bahwa kalau punya anak nanti, pada saat usianya 1 tahun ia akan kami ikutkan kursus renang. Pada usia 3 tahun, ia akan kami masukkan ke kursus Kumon dan mulai "sekolah" di taman bermain.

Pada kenyataannya Rosi tidak ikut kursus renang sampai sekarang. Namun, ia senang sekali bila diajak berenang walau awalnya menunjukkan rasa waspada. Kalau sudah begitu, ia selalu bilang "cipak-cipuk". Pun, pada kenyataannya ia tidak ikut kursus Kumon dan tidak ikut taman bermain di usia 3 tahun, tapi ia sudah mulai belajar di Pelayanan Dini sekolah khusus tunanetra/dwituna "Rawinala" dan "BRT" (Bimbingan Remedial Terpadu) pada usia 2 tahun.

Banyak yang didapat Rosi terutama dari segi bina diri dan kemampuan bersosialisasi. Ia kini sudah mampu memakai baju sendiri, juga memegang sendok sambil makan. Ia pun mulai mengerti perintah-perintah pendek seperti, "Mari duduk", "Berdiri". Hal yang biasa bagi anak normal. Rosi juga amat senang "bernyanyi". Lagu favoritnya adalah "Tennesse Waltz" dan "Bangun Tidur".

ROSI MENGAJARKAN ARTI HIDUP
Seandainya saja Rosi tidak buta, mungkin kami tidak sebersyukur ini kepada Tuhan, serta tidak sesukacita dan sesabar ini dalam menanti hari demi hari ataupun tetes demi tetes kemajuan anak-anak kami. Melalui sakitnya yang terakhir, kami juga melihat bahwa begitu banyak orang di sekeliling kami yang mengasihinya. Kami berharap mereka bukan sekadar tersentuh oleh ketidakberdayaan Rosi dan kami, melainkan oleh kesadaran untuk dapat lebih menghargai kehidupan kanak-kanak yang normal, yang "bawel" karena dapat melihat, yang berlarian ke sana-ke mari karena kaki yang kuat, dan yang dapat bernapas dengan lancar tanpa perlu bantuan peralatan apapun.

Saat ini kami tetap tak tahu sampai kapan Rosi bisa bertahan. Namun, kami selalu berusaha memberikan yang terbaik baginya. Kami melihat ada rencana dari Yang Maha Kuasa yang harus kami jalani, entah apakah rencana itu. Namun kami yakin, rencana-Nya ini adalah rencana yang baik bagi kami.

Martin Leman (seperti dituturkan Sahat Panggabean dan Grace Pelawi, orang tua Rosita Hildanauli Panggabean.e-mail: rositapanggabean@gmail.com.) Foto:Dok.Pribadi

4 comments:

4Life Transfer Factor said...

Rosita atau Ochy.. she's my niece... my lovely one... she's adorable, tough and inspiring... yesterday, she's passed away.. Kepergiannya mebuat begitu banyak airmata tertumpah krn kehilangan sosok nya... namun di sisi lain, kepergiannya juga menjadi jawaban yang terbaik karena Tuhan telah merindukannya untuk memangkunya di surga, di tempat dimana Ochy nggak akan merasakan penderitaan lagi... di tempat dimana Ochy bebas bernyanyi dan bermain bersama malaikat2... dengan hati yang akan selalu merindukan Ochy, selamat jalan sayang... sampai bertemu lagi...

-Nathalina Sebayang-

4Life Transfer Factor said...

Ochy..anakku, dia orang yg tough bgt,hebat..keponakan yang paling kusayang diantara semua keponakkanku..skarang ochy udah tenang n ga akan pernah ngerasain sakit..Ochy,anakku..Bapa tua percaya suatu hari nanti kita akan ketemu lagi di Rumah Bapa di Surga..Bapa tua sayang kamu Ochy..Selamat jalan anakku...


-Christo Tarigan-

4Life Transfer Factor said...

Dikit lagi ya ada yg kurang..hehehe..Buat abang n kakak, jujur aku salut liat kalian berdua.Kalianlah orang yang paling tepat untuk Tuhan menitipkan Ochy, karena Tuhan tau kalian pasti sanggup menangani Ochy..1 hal yang ga pernah kulupa adalah waktu Ochy nangis kesakitan waktu kita nginap di puncak, aku n ina waktu itu ga tahan liat Ochy nahan sakit.Aku liat kesabaran kalian yang buat aku sangat luar biasa..You both are very inspiring for us..Maju terus dalam Tuhan..GBU..


-Christo Tarigan n Natalina Sebayang-

Unknown said...

aku kenal grace dan sahhat saat sama-sama kost di depok. Aku juga tau sedikit perjalanan cinta kalian. Membaca apa kalian alami aku sangat salut dan bangga mempunyai teman seperti kalian, dan luar biasa betapa beruntungnya rosita memiliki orang tua seperti kalian. Dimasa dia hidup rosita juga selalu dikelilingi orang-orang yang sangat mengasihi dia tetapi ada yang lebih sayang kepada dia yaitu Bapa yang di surga. Selamat jalan Rosita....